2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM (1/6)
Muhammad Husain Haekal
WASHINGTON IRVING sebagai penulis terkemuka telah menjadi
kebanggaan Amerika Serikat terhadap bangsa-bangsa lain dalam
abad ke-19. Dia telah menulis buku tentang sejarah hidup
Nabi. Dalam buku ini dibentangkannya sejarah Nabi itu dengan
kemampuan retorika yang cukup besar sehingga tidak sedikit
bagian-bagian yang dapat memikat hati pembacanya. Disamping
kemampuannya itu kadang terlihat juga kejujurannya, tapi
kadang tampak pula tidak toleran dan penuh prasangka. Buku
ini disudahi dengan sebuah penutup yang menjelaskan
pokok-pokok ajaran rukun Islam, serta apa yang dikiranya
sumber-sumber yang berdasarkan sejarah yang telah dijadikan
landasan ajaran itu, didahului dengan soal keimanan kepada
Tuhan, kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul dan
hari kemudian. Kemudian katanya:
"Rukun keenam dan terakhir daripada rukun akidah Islam
(rukun iman) ialah jabariah.1 Sebagian besar
kemenangan Muhammad dalam perang didasarkan kepada ajaran
ini. Segala peristiwa yang terjadi dalam hidup sudah
ditentukan lebih dulu oleh takdir Tuhan, sudah tertulis
dalam 'Papan Abadi'2 sebelum Tuhan menciptakan alam ini, dan
bahwa nasib dan ajal manusia semua sudah ditentukan, sudah
tak dapat dielakkan lagi. Dengan cara apa pun menurut
kemampuan usaha dan pikiran manusia, sudah tak dapat
dimajukan lagi. Dengan keyakinan ini kaum Muslimin terjun ke
medan perang tanpa merasa takut sama sekali. Kalau mati
dalam pertempuran demikian ini sama dengan mati syahid yang
akan langsung masuk surga, maka mereka yakin salah satu ini
pasti akan mereka capai -syahid atau menang.
"Ajaran yang menentukan, bahwa manusia
tidak berdaya dengan kemauannya yang bebas itu untuk
menghindari dosa atau selamat dari siksa, sebagian kaum
Muslimin menganggapnya bertentangan dengan keadilan dan
rahmat Tuhan. Beberapa golongan timbul. Mereka berusaha dan
terus berusaha hendak meringankan dan memberi penjelasan
mengenai ajaran yang membingungkan ini. Tetapi jumlah yang
masih sangsi tidak banyak. Mereka ini tidak termasuk
golongan Sunnah (orthodoks).
"Muhammad mendapat inspirasi tentang ajaran ini tepat
pada waktunya. Memang ini ilham yang luar biasa terjadi pada
waktu yang tepat sekali. Kejadian ini persis sesudah Perang
Uhud yang malang itu, yang tidak sedikit makan korban
sahabat-sahabatnya, termasuk Hamzah pamannya. Ketika itulah,
tatkala kesedihan dan kegelisahan sedang mencekam hati
sahabat-sahabat yang mengelilinginya, peraturan ini
dikeluarkan -- bahwa manusia tak dapat mengelak dari
kematian, bila ajal sudahm tiba, sama saja di tempat tidur
atau di medan perang ...
"Kiranya orang takkan dapat melukiskan suatu ajaran yang
lebih tepat dari ini untuk mendorong sekelompok tentara yang
bodoh tidak berpengalaman itu menyerbu secara buas ke medan
perang. Mereka sudah diyakinkan, kalau hidup mendapat
rampasan perang, kalau mati mendapat surga! Karena ajaran
ini juga tentara Muslimin sudah hampir tak dapat dikalahkan
lagi. Akan tetapi ini juga yang mengandung racun yang akan
menghancurkan kekuasaan Islam itu. Begitu
pengganti-pengganti Nabi itu berhenti sebagai penakluk,
begitu mereka menyarungkan kembali pedangnya untuk
selama-lamanya, ajaran jabariah ini pun mulai pula
mengerumit (menggerogoti) untuk merusak. Urat-saraf Muslimin
sudah peka terhadap perdamaian, juga sudah peka terhadap
kekayaan materi yang dibolehkan oleh Qur'an, dan yang
merupakan pemisahan yang tajam antara prinsip-prinsip ini
dengan agama Kristen, agama suci dan kasih sayang. Seorang
Muslim yang ditimpa kemalangan menganggapnya sebagai nasib
yang sudah ditakdirkan Tuhan dan tak dapat dihindarkan, jadi
harus tunduk dan menerima, selama segala daya upaya dan
pikiran manusia memang tidak berguna.
"Rumus yang berbunyi: "Tolonglah dirimu, Tuhan akan
menolongmu" dipandang oleh pengikut-pengikut Muhammad tak
dapat dilaksanakan, bahkan sebaliknya yang mereka ambil.
Dari sanalah salib berhasil mengikis bulan sabit. Adanya
bulan sabit ini sampai sekarang di Eropa - yang pada suatu
waktu pernah mencapai kekuatan yang luar biasa hanyalah
karena perbuatan negara-negara Kristen yang besar-besar;
atau lebih tepat lagi: karena persaingan mereka sendiri.
Bertahannya bulan sabit itu barangkali untuk menjadi bukti
yang baru, bahwa: "barang siapa menggunakan pedang akan
binasa oleh pedang."
Demikianlah kata-kata Washington Irving, orang yang
dengan studinya itu belum memungkinkan ia dapat menangkap
jiwa Islam dan dasar kebudayaannya. Salah sekali pendapatnya
dalam mengartikan soal al-qadza wal-qadar (kadar atau
takdir) serta soal ajal itu. Barangkali dia masih dapat
dimaafkan mengingat beberapa buku Islam yang dijadikan bahan
bacaannya membuat dia berpendirian demikian itu. Tetapi
sebaliknya Qur'an, tidak dapat diukur dengan kalimat
"Tolonglah dirimu, Tuhan akan menolongmu" dari segi kuatnya
dorongan Qur'an supaya orang percaya kepada diri sendiri,
dan bahwa manusia mendapat imbalan sesuai dengan perbuatan
serta niat yang melahirkan perbuatan itu.
"Katakan: 'Wahai umat manusia! Kebenaran dari Tuhan sudah
datang. Barang siapa menurut jalan yang benar, maka
kebenaran itu buat kebaikan dirinya, dan barang siapa
menjadi sesat, dia sesat karena dirinya juga'." (Qur'an, 10:
108.)
"Barang siapa menurut jalan yang benar,
maka kebenaran itu buat kebaikan dirinya; dan barang siapa
menjadi sesat, dia sesat karena dirinya juga. Seseorang
tidak dapat memikulkan beban orang lain, dan Kami tiada akan
menjatuhkan siksaan sebelum Kami mengutus seorang rasul."
(Qur'an, 17: 15).
"Barang siapa menghendaki keuntungan akhirat akan Kami
tambahkan keuntungan itu, dan barangsiapa menghendaki
keuntungan dunia akan Kami berikan juga. Tetapi di akhirat
ia tidak mendapat bagian." (Qur'an, 42: 20)
"Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau
mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri." (Qur'an, 13:
11.)
Dan contoh serupa ini banyak sekali dalam Qur'an. Jelas
sekali ia menunjukkan bahwa manusia mendapat pahala atau
mendapat siksa sumbernya pada kehendak dan perbuatannya
sendiri. Tuhan mendorong manusia berusaha dan mencari rejeki
untuk makannya di muka bumi ini. Mereka disuruh berjuang di
jalan Allah dengan ayat-ayat yang cukup jelas dan kuat
seperti yang sudah kita baca sebagian dalam buku ini. Ini
sama sekali tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Irving
dan beberapa penulis Barat, bahwa Islam agama tawakal, serba
tak acuh dan pasrah, mengajar pemeluknya bahwa mereka tidak
berkuasa atas diri mereka sendiri untuk mendatangkan
kebaikan atau keburukan, jadi tak ada gunanya mereka
berusaha dan berkehendak, sebab usaha dan kehendaknya
tergantung kepada takdir Tuhan. Kalau kita berusaha dan
ditakdirkan takkan memberi hasil atas usaha kita, tidak akan
berhasil juga. Sebaliknya kalaupun kita tidak berusaha tapi
sudah ditakdirkar; kita akan menjadi orang kaya, orang kuat
atau menjadi orang beriman, kita pun akan jadi demikian
tanpa ada usaha atau kerja. Ayat-ayat yang sudah kita
kemukakan itu menolak dan bertentangan sekali dengan
pendapat ini.
Mereka-yang menghubungkan sikap tawakal kaum Muslimin
pada masa-masa belakangan ini berpegang pada ayat terakhir,
seperti firman Tuhan ini:
"Nyawa yang harus menemui kematiannya, hanyalah dengan
ijin Tuhan, sebab waktunya sudah ditentukan." (Qur'an, 3:
145).
"Setiap umat sudah mempunyai waktunya tertentu. Apabila
sudah tiba waktunya, mereka takkan dapat mengundurkan atau
memajukannya barang sedikit pun juga." (Qur'an, 7: 34).
"Setiap peristiwa yang terjadi di bumi dan pada dirimu
sendiri sudah ditentukan terlebih dulu sebelum Kami
menciptakannya. Buat Tuhan hal semacam ini mudah sekali."
(Qur'an, 57: 22).
"Katakan: Takkan ada yang menimpa kita, kalau tidak sudah
ditentukan Tuhan kepada kita. Dialah Pelindung kita, dan
orang-orang yang beriman kepadaNya-lah mempercayakan diri."
(Qur'an, 9: 51)
Kalau pun itu yang menjadi pegangan mereka, sebenarnya
mereka tidak dapat menangkap arti ayat-ayat itu dan yang
semacamnya serta hubungan erat yang digambarkan antara hamba
dengan Tuhannya. Mereka sudah terdorong dengan dugaan bahwa
Islam mengajarkan orang pasrah; padahal yang sebenarnya
Islam menyuruh orang berjuang dan bersedia mati sebagai
pahlawan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya,
dengan kebudayaannya yang dibangun atas dasar persaudaraan
dan kasih-sayang.
Sebenarnya ayat-ayat itu dan yang sejalan dengan itu
telah melukiskan suatu kenyataan ilmiah yang telah diakui
pula oleh sebagian besar filsuf-filsuf dan sarjana-sarjana
Barat dengan diberi nama mazhab jabariah (fatalisma) juga
dan menghubungkan pengertian jabr (nasib) ini kepada hukum
alam dan sejumlah kehidupan biologis yang ada, sebaliknya
daripada akan menghubungkannya kepada kehendak dan kekuasaan
Allah. Mazhab yang sudah diakui oleh sebagian besar
filsuf-filsuf Barat ini tidak lebih puas, tidak lebih
toleran, juga tidak lebih sesuai untuk umat manusia daripada
mazhab filsafat yang disarikan dari Qur'an Suci itu, seperti
yang akan kita lihat nanti.
Jabariah ilmiah (scientific determinism) ini berpendapat,
bahwa ikhtiar3 yang ada pada kita dalam kehidupan
ini ialah ikhtiar nisbi dengan nilai yang kecil sekali,
sedang pendapat tentang ikhtiar nisbi ini lebih banyak
bergantung kepada keperluan hidup sosial dari segi
praktisnya daripada kepada kenyataan ilmiah atau filsafat.
Kalau mazhab ikhtiar ini tidak dijadikan suatu keputusan,
akan sulit juga masyarakat menemukan suatu patokan sebagai
dasar hukumnya dan batas-batasnya, akan menyusun suatu pola
kehidupan dan tingkah laku setiap orang yang sudah
ditentukan hukumannya itu, dengan suatu hukuman pidana atau
perdata.
Memang benar, bahwa di kalangan sarjana-sarjana dan
ahli-ahli hukum itu ada juga yang tidak mendasarkan patokan
hukumannya kepada pengertian jabr dan ikhtiar (nasib dan
usaha, atau sengaja dan tidak sengaja), melainkan kepada
reaksi yang terjadi yang sudah merupakan pegangan masyarakat
yang hendak menjaga eksistensi mereka, dan yang juga berlaku
buat individu yang hendak menjaga eksistensinya pula. Buat
masyarakat yang berpegang kepada reaksi ini sama saja,
apakah individu itu bertindak atas kemauan sendiri atau
tidak atas kemauan sendiri. Akan tetapi tindakan secara
ikhtiar (dengan sadar) ini pada sebagian besar ahli-ahli
hukum tetap merupakan dasar dalam menjatuhkan hukuman.
Sebagai alasannya ialah orang yang sudah kehilangan
kebebasan atau kemauan, seperti orang gila, anak kecil atau
orang dungu, ia tidak dikenakan hukuman atas perbuatannya
seperti terhadap orang dewasa yang sudah dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau pertimbangan-pertimbangan praktis dalam yurispruden
perundang-undangan ini kita kesampingkan dan kita hanya mau
mencurahkannya kepada kenyataan ilmiah dan filsafat, maka
kita melihat jabariah inilah kenyataannya. Tak ada orang
yang dapat memilih pada zaman mana ia mau dilahirkan, pada
bangsa apa, pada lingkungan mana, juga ibu bapa yang siapa,
dengan segala kekayaan dan kemiskinannya, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Juga bukan karena dia pria atau
wanita, bukan karena peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sekitarnya - dalam banyak hal - yang akan menjadi faktor
utama dalam membentuk dan mengarahkan segala pekerjaan dan
kehidupannya. Mengenai mazhab ini Hippolyte Taine
menyatakan: "Manusia itu produk lingkungannya."
Tidak sedikit kalangan sarjana dan para filsuf yang
mendukung kenyataan ini, sampai-sampai mereka mengatakan
bahwa kalau dunia kita dapat mencapai pengetahuan mengenai
segala hukum dan rahasia hidup manusia ini seperti
pengetahuan yang sudah diketahuinya dalam hukum tata surya,
tentu orang akan dapat menentukan nasib setiap individu atau
masyarakat dengan pasti sekali, seperti yang dilakukan oleh
ahli-ahli ilmu falak yang secara pasti sudah dapat
menentukan waktu-waktu akan terjadinya gerhana matahari atau
bulan. Namun begitu, tidak ada orang baik di Barat atau di
Timur - yang mengatakan bahwa mazhab jabariah ini merintangi
orang dalam usahanya mencapai sukses dalam kehidupan, atau
akan merintangi bangsa-bangsa untuk terjun ke tempat yang
paling baik, juga tak ada yang mengatakan bahwa
bangsa-bangsa yang menganut mazhab ini akan mengalami
kemunduran. Sungguh pun begitu namun mazhab fatalisma di
Barat tidak memberikan dorongan kepada orang supaya berusaha
dan bekerja seperti yang terdapat dalam ayat-ayat Qur'an
tentang tanggung awab manusia terhadap pekerjaannya.
"Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang
diusahakannya. Dan hasil usahanya itu akan terlihat juga."
(Qur'an 53: 39 - 40)
Bukankah satu ini saja sudah cukup tepat sebagai argumen
terhadap prasangka pihak Orientalis yang menduga bahwa
jabariah Islam itu membawa bangsa-bangsa yang menganutnya
menjadi mundur?
Bahkan jabariah Islam ini lebih besar memberi dorongan
orang berusaha untuk kebaikan dan untuk mendapatkan hasil
rejekinya dari pada fatalisma di Barat. Kedua mazhab ini
memang sudah bertemu bahwa dalam alam ini sudah ada
hukum-hukum yang tak dapat diubah atau diganti, dan semua
yang ada dalam alam ini tunduk kepada hukum-hukum tersebut.
Juga manusia tunduk seperti yang lain yang ada dalam alam
ini. Tetapi fatalisma ini menundukkan orang kepada
lingkungannya dan cara yang turun-temurun yang sudah tak
dapat lagi dihindari dan membuat iradat manusia harus tunduk
kepada lingkungannya. Dalam hal ini sudah tak ada jalan lagi
ia dapat mengubah diri. Sebaliknya Qur'an mengajak iradat
setiap individu atas dasar rasio menuju ke arah yang lebih
baik, dan diingatkannya bahwa bilamana hasil yang baik itu
sudah ditentukan buat mereka, maka itu adalah atas usaha
mereka sendiri dan mereka tidak akan mendapat hasil yang
baik dengan seenaknya saja tanpa usaha.
"Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau
mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri." (Qur'an, 13:
11)
Setelah Tuhan memberi petunjuk kepada umat manusia dengan
kitab-kitab suci mengenai apa yang harus mereka lakukan,
setelah kepada para nabi dan rasul dibukakan jalan yang
benar dan disuruh memikirkan dan merenungkan segala isi dan
hukum alam serta kekuasaan Tuhan, maka dengan kemampuan
mereka sendiri, mereka akan memikirkan dan merenungkan semua
itu. Orang yang sudah beriman akan hal ini dan mengarahkan
diri ke arah itu, tentu ia akan memperoleh apa yang sudah
ditentukan Tuhan. Apabila sudah ditentukan dia akan mati
membela kebenaran atau kebaikan seperti diperintahkan Allah,
tidak perlu ia kuatir. Dia dan yang sebangsanya akan tetap
hidup di sisi Tuhan. Manalah anjuran yang lebih besar dari
ini supaya orang berinisiatif, berusaha dan berkemauan?! Dan
dimana pula tempatnya sikap serba tak acuh seperti diduga
oleh Irving dan Orientalis-orientalis lain itu?
Sikap serba tak acuh sama sekali bukan tawakal4 kepada
Allah. Dengan bertawakal kepada Allah tidak mungkin orang
hanya akan bertopang dagu berpeluk lutut dan meninggalkan
segala yang diperintahkan Tuhan. Bahkan sebaliknya, ia harus
bekerja keras untuk itu, seperti dalam firman Allah:
"Kalau engkau telah berketetapan hati, tawakallah kepada
Allah."
Jadi ketetapan hati dan iradat ini harus mendahului
tawakal. Kita sudah berketetapan hati, lalu kita bertawakal
kepada Allah, kita mencapai tujuan kita berkat itu juga. Apa
yang patut kita tuju hanya Dia semata, kita patut bersikap
takut hanya kepadaNya semata - kita akan mencapai semua
hasil yang baik itu berdasarkan undang-undang Tuhan dalam
alam ini. Undang-undang Tuhan takkan berubah dan tidak akan
berganti-ganti. Hasil yang baik ini yang harus menjadi
tujuan kita sampai usaha kita mencapai sukses, atau kita
akan mati karenanya. Hasil usaha baik yang kita capai adalah
dari Tuhan. Segala bencana yang menimpa kita karena
perbuatan kita sendiri dan karena kita menempuh jalan bukan
ke jalan Allah. Jadi segala kebaikan dari Tuhan dan segala
kesesatan dan kejahatan dari perbuatan setan.
Tentang kekuasaan Tuhan mengetahui segala yang terjadi
dalam alam sebelum Tuhan menciptakan alam, dan bahwa Tuhan
Maha Agung
"... tiada yang tersembunyi padaNya barang seberat atom
pun di langit dan di bumi, tiada yang lebih besar atau lebih
kecil dari itu, semua sudah dalam Kitab yang nyata,"
(Qur'an, 34: 3.)
berarti bahwa Tuhan telah menentukan beberapa hukum dalam
alam ini yang tak dapat diubah-ubah dan pengaruhnya harus
lahir pula dari sana.
Apabila sarjana-sarjana berpendapat seperti yang sudah
kita kemukakan tadi, bahwa bila ilmu yang positif dapat
mengetahui rahasia-rahasia dan undang-undang kehidupan
manusia, mengetahui apa yang sudah ditentukan setiap
individu dan masyarakat, seperti halnya dalam menentukan
waktu-waktu akan terjadinya gerhana matahari dan bulan, maka
keimanan kepada Allah tidak bisa lain berlaku juga keimanan
kepada kekuasaanNya yang mengetahui segalanya sebelum alam
ini diciptakan. Apabila seorang arsitek bangunan yang
membuat sebuah rencana rumah atau gedung serta menantikan
dilaksanakannya rencana itu, dapat mengetahui sampai berapa
lama kekuatan bangunan itu dan bagian-bagiannya yang mungkin
akan bertahan selama beberapa tahun lagi; demikian juga
sarjana-sarjana ekonomi berpendapat, bahwa hukum ekonomi pun
memberi kepastian kepada mereka untuk mengetahui adanya
krisis atau kemakmuran yang akan terjadi dalam kehidupan
dunia ekonomi, maka memperdebatkan ilmu Tuhan mengenai
segala yang kecil dan yang besar yang menjadi ciptaanNya
dalam alam ini sifatnya akan sangat merendahkan Tuhan, suatu
hal yang tak dapat diterima oleh akal sehat.
(bersambung ke
bagian 2/6)
|